Posted by : Sanguine bercerita tentang hidup
Minggu, 21 September 2014
Masih ingat dengan wejangan dari salah satu saudara
saya “tidak ada aktivis yang kaya” pelan – pelan saya mulai membenarkan, why??
Karena aktivis selalu memikirkan orang lain yang membutuhkan, jika ia memiliki
sedikit rejeki ia akan bagikan kepada yang membutuhkan. Mengambil sedikit untuk
kepentingan pribadi dan membagikan seluruh sisa kepada yang membutuhkan.
Terlalu dini mengatakan aktivis hidup dalam kemiskinan, saya lebih senang
mengatakan aktivis hidup kecukupan. Ingat kecukupan bukan kaya.
Well, pada akhirnya tulisan ini akan sedikit
bercerita tentang kehidupan pribadi saya. Menginjak semester 7, saya mulai
dibikin bingung dengan pertanyaan pertanyaan “ntar kalo lulus mau kerja apa?
Mau wirausaha apa ikut orang atau jadi pns? Mau netep di Jawa atau merantau ke
luar jawa”. Ini emang kurang penting daripada pertanyaan “lo udah skripsi apa
belon?” (ups). Dulu, kalo gak salah usia SD, saya pernah bilang ke almarhum
bapak saya “Bapak ntar kalo aku gede, aku pengen banget kerja di hutan” (kurang
lebih kayak gitu, cuman dalam bahasa jawa sih ngomongnya) “ngapain kerja di
hutan gak jelas gitu, mendingan jadi dokter” balas bapak saya tentunya dengan
bahasa jawa dan logat khas jawa timuran. Dari percakapan ini, saya jadi tahu
bahwa orang tua pengenya punya anak dengan pekerjaan tetap, gaji gede, dan
hidup tenang. Gak muluk – muluk sih, syukur kalau anaknya jadi orang kaya +
jadi pejabat Negara. Kalau disambungin sama paragraph pertama, jarang banget
ada orang tua yang pengen anaknya jadi aktivis. Why? Udah dijawab kan sama
paragraph kedua (hehe)
Problem inilah yang ingin saya ceritakan. Saya calon
sarjana, pengenya sih kalo lulus bisa bantu masyarakat (sesuai keilmuan).
Karena saya calon dokter hewan berarti pengabdian saya ya yang berbau dengan
kesehatan hewan. Permasalahanya kalo saya langsung terjun ke masyarakat, ya
pendapatan saya ya segitu aja. Kalo dibanding dengan temen – temen yang masuk
perusahaan atau jadi TS ya nggak bisa dibandingin. Mengingat sekolah saya yang
mahal, dan orang tua saya bukan orang kaya, ya pastinya orang tua bakalan
bilang enggak kalo saya minta ijin “Buk saya pengen ngabdi disini, itung bantu
masyrakat”
Padahal mengabdi dimasyarakat adalah tugas pokok
seorang sarjana. Ya kita beruntung lah bisa kuliah. Dalam hati kecil saya, ya
pengen ngabdi, bahkan pengen banget keluar jawa, ke pelosok pelosok pulau. Tapi
dengan MENIMBANG UANG ya saya juga mesti berfikir banyak. Bagaimana ego bisa
sejalan dengan permintaan orang tua. Bagaimana ego bisa melawan apa kata dunia.
Kalo pengen jadi aktivis ya nggak bisa kaya, kalo pengen jadi orang kaya ya
jadilah pengusaha. banyak disekitar kita yang mengejar gelar hanya untuk
meningktkan taraf hidup, nggak peduli dengan kehidupan orang lain. Berusaha
mati – matian agar bisa menjadi orang terpandang berharap orang tua akan sangat
bangga kepadanya. Apakah itu semua hanya menjadi satu satunya tujuan hidup??
Alangkah begitu meruginya.Ya wajar sih karena mereka selalu menimbang uang
(sperti saya), merasa rugi jika sedikit berbagi. Merasa rugi kalau usaha
kerasnya dibagikan kepada orang yang membutuhkan dengan begitu saja.
Orang tua tidak salah berfikiran seperti itu, Karena
orang tua ingin anaknya menjadi lebih baik. Akan tetapi tak sedikit juga orang
tua memaksa anaknya menjadi “kaya” karena tuntutan dunia. Terlalu malu jika
anaknya biasa biasa saja. Nah, jika teman – teman memiliki masalah yang sama
dengan saya, kita harus bisa memberikan pengertian kepada orang tua kita, bahwa
betapa berbagi itu adalah nikmat yang luar biasa. Menjadi pejabat, menjadi
orang kaya raya, bahkan menjadikan diri sebagai budak dunia adalah sebagian
kecil dari hidup, karena ada kehidupan yang lebih abadi, yaitu kehidupan
setelah kematian. Amal – amal kecil inilah yang sedikit bisa membantu kita bisa
terpandang dihadapan Tuhan YME. Tuhan tidak pernah menimbang doa kita, tetapi
kenapa kita selalu menimbang uang untuk kita bagikan. Salam Sukses!!!!!!!!!!!!