Posted by : Sanguine bercerita tentang hidup
Senin, 02 Desember 2013
“Jangan kehilangan kesimbangan! Berseru – seru aku pada diri
sendiri, memperingatkan. Di mana – mana aku harus tolak persembahan, gelar,
jongkok, dan sembah karena kita sedang menuju arah masyarakat, dimana setiap
manusia sama harganya. Di balik setiap kehormatan mengintip kebinasaan. Di
balik hidup adalah maut. Di balik kebesaran adalah kehancuran. Dibalik
persatuan adalah perpecahan. Di balik sembah adalah umpat. Maka jalan
keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya.
Jalan tengah – jalan kearah kelestarian” mungkin buat pak pram sepenggal kata
diatas hanyalah titik kecil, mengingat ribuan kata pembakar sekaligus menampar
jiwa telah ia tuangkan hingga kemudian mengisi ruang – ruang sastra. Saya
sendiri kurang tahu apa alasan mengutip kalimat diatas,barangkali kalimat
diatas merupakan warning untuk saya pribadi.
Mengontrol diri
adalah hal yang tidak gampang, godaan yang datang terkadang jauh lebih kuat
daripada kemauan untuk menghindar. Jabatan?? Ya susah sekali membedakan benar –
benar ingin atau benar – benar diinginkan. Terkadang orang mengatakan ini demi
kepentingan umat, tapi seberapa besar kepentingan umat yang kita bawa dalam
misi daripada kepentingan pribadi atau kepentingan golongan. Pernah saya
menolak keinginan seseorang untuk maju dalam sebuah pencalonan
“maaf saya tidak bisa maju, karena saya sudah mendukung ( Tim
Sukses) teman sekelas saya. Sekali lagi mohon maaf” begitu apik saya menolak. Namun yang menjadi
pertanyaan apa dasar saya menolak tawaran tersebut? Ya hanya karena saya takut
dianggap penghianat? Bisa jadi, saya memilih cari aman ketimbang memunculkan
konflik. Tapi sebenarnya bukan itu, begitu hina sebenarnya alasan saya menolak,
ya karena saya sedang menunggu tawaran yang lebih besar dari seseorang, tapi
apa?? biarkan ini menjadi rahasia saya & Tuhan sajalah.
2 bulan berjalan, apa yang saya inginkan ternyata lepas. Yang saya
sesali sebenarnya bukan karena “tawaran besar” itu tidak sampai kepada saya,
tapi karena kemudian proses tersebut tidak masuk akal dan hanya keputusan
sepihak. Dan kemudian saya ditinggalkan begitu saja tanpa monitoring
selanjutnya. Yang saya butuhkan waktu itu adalah mentor yang bisa mengarahkan
saya, layaknya orang – orang tersebut mengarahkan seseorang yang menjadi andalan.
Kemudian saya berpikiran bukan hanya yang menjadi andalan saja yang seharusnya
didampingi, akan tetapi semua yang memiliki bakat dan bisa menjadi “seseorang’
apabila diarahkan dengan baik.
Sayangnya saya sudah terlanjur liar, dan merasa terbuang. Perjalanan
ini nampaknya menjadi sangat berat karena semuanya harus dilakukan sendirian,
tanpa mentor atau pembimbing. Tapi mungkin inilah yang diinginkan oleh orang yang
saya tunggu memberikan tawaran tersebut, supaya saya menjadi kuat dan besar
hati dimasa yang akan datang. Tapi terhadap semua perlakuan yang saya terima
“janji saya, saya tidak akan menyia nyiakan emas yang ada didepan saya, dan
kepada orang yang merasa tidak memiliki apa – apa, mari kita gali potensi
mereka sehingga sinarnya tak kalah dengan emas permata” ini menjadi janji saya.
Hanya orang orang yang beruntung bisa merasakan seperti saya, begitu cara saya
menghibur jiwa yang tersakiti.
Dan apa yang saya jalani sekarang bukanlah sebuah pelampiasan
karena gagal mendapatkan “tawaran besar” tersebut, tapi ini adalah sebuah cita
cita yang sejak dulu ingin saya wujudkan, terserah orang berkata apa, saya
terlalu capek menyortir omongan omongan mereka. hanya orang yang datang
memberikan saran kearah perbaikan yang perlu didengar, bukan orang yang datang
dengan beribu kritikan tanpa saran. Terimakasih kepada orang yang akhirnya
tidak datang dengan tawaran besarnya, dan sekali lagi terimakasih atas segala
kebaikan, saya sungguh menunggu kapan kita bisa bersiskusi kembali.
“bahkan matanya bisa berbicara, tapi sayangnya dia tidak sepihak
dengan kita” saya tidak akan biarkan
orang orang seperti ini menjadi buangan kemudian tidak menjadi apa – apa. Semua
orang ingin dianggap pahlawan, tapi khalayak
tahu siapa yang layak untuk dianggap pahlawan.
Betapa saya telah terlena dengan dunia, terimakasih kepada guru
bayangan saya, Pramoedya Ananta Toer, yang mengajarkan bahwa “Di balik setiap
kehormatan mengintip kebinasaan”.
Malang, 29 November 2013