Posted by : Sanguine bercerita tentang hidup Minggu, 22 Desember 2013

 "Didedikasikan untuk seluruh Bunda Didunia"


Yogyakarta, 2013
Jemari ini terlalu lentik, oh bukan tepatnya terlalu kisut dan tak bertenaga untuk menyisir beberapa helai rambut yang mulai memutih. Oh ubanku,,, tak terasa sudah hampir memenuhi seluruh penjuru mahkota indahku. Aku tersenyum kecut, menyadari usia yang sudah lebih dari separoh abad. Kanjeng nabi Muhammad wafat pada usia 63 tahun, berarti kurang lebih enam tahun lagi, aku bisa menikmati indahnya alam semesta. Ku teruskan kegiatan menyisir rambut putihku,terus,terus,dan terus. Hingga aku lelah dan berhenti sejenak. Sunyi membawa kembali diri sepuluh tahun yang lalu.
Yogyakarta, 2003
Fajar diam – diam menyelinap kedalam rumah mungilku, menerobos lubang - lubang kecil yang menjadi hiasan rumah ku. Anakku, Marni, kau masih terlelap nak. Teruskan saja tidur mu, bangun mimpi mimpi besarmu. Ku dekati dia yang masih terbaring di ranjam butut. Ku belai rambut nya, ku pandangi wajah cantik anakku satu satunya. Hal yang paling aku takutkan adalah tidak bisa lagi melihat senyum indah Marni dalam kesendirian, setelah suami tercinta meninggalkan kami berdua.
Adzan berkumandang, aku laksanakan sholat shubuh, dan kemudian sibuk menyiapkan kukusan tewel[1] untuk nanti malam jualan nasi Gudeg[2] di trotoar sepanjang jalan malioboro. Biasanya marni bangun setelah aku selesai sholat. Kemudian dia membantuku menyiapkan masakan, dan ketika jarum menunjuk pukul 6 dia bergegas untuk sekolah. Begitu setiap hari.
Kata orang, Marni anak yang cerdas disekolah, dia selalu mendapatkan peringkat satu, yah meskipun hanya di SMA yang tak begitu bonafit, tapi cukuplah buat kami, anak gubukan. Aku sangat bangga dengan Marni, dia tak pernah mengeluh terhadap apa yang kami terima saat ini. Dia wanita yang mau bekerja keras. Tiap malam, Marni menemaniku menjajakan gudeg di Malioboro hingga larut malam. Ia tak langsung tidur, ia sempatkan membaca catatan sekolah di bukunya yang kumuh, karena aku tak sanggup membelikanya. Rasanya aku iba melihat kondisi Marni. Sebagai Ibu aku telah gagal, bukan, aku tidak gagal, ,aku menampik ucapanku, aku hanya sedang memberi pelajaran kepada Marni, bahwa hidup bukan hanya sekedar berleha leha terhadap nikmat Tuhan, tapi perlu kerja keras untuk mencapai sebuah kenikmatan.
“Buk, Marni Budal disik nggeh!!” Teriak marni, karena sudah terlambat kesekolah. Dasar anak bodoh, bahkan dia harus berjalan kaki sepanjang 3 Km untuk pergi kesekolah. Dia tidak pernah minta untuk dibelikan sepeda walaupun hanya sepeda pancal. Aku yang bodoh nak, maafkan ibu mu sehingga kamu hidup miskin seperti ini.
Tiba tiba aku teringat ucapan marni semalam, ada alat canggih yang bisa dibawa kemana mana dan bisa menyambungkan orang yang ada di Jawa dengan orang diseluruh Indonesia, ehmm namanya Handepo,,,ah apalah tapi orang biasa menyebut Hape[3]. Beli sepeda aja nggak bisa apaagi beli gituan. Tapi aku tahu, pasti marni sangat ingin memilikinya, dari cara ia bercerita, yah tak seperti biasanya. Marni, Marni, kamu ini, sudah tau miskin, nggak usahlah minta yang macam – macam.
Yogyakarta,2013
“tok,,,tok” lamunanku tentang marni buyar seketika, seperti ada yang mengetuk pintu, siapakah gerangan? Apakah itu Marni? Aku hanya berharap itu Marni, ku gelung rambut putihku, dan segera ku buka pintu.
“Ini ada kiriman mak, dari Jakarta” kata Jumain, Pak Pos yang rajin mengirim paketan dengan isi sama tiap bulan. Yah sudah bisa diduga, amplop ini berisi lembaran uang Rp.100.000,00 dari anakku marni. Marni, Marni. Kusimpan amplop itu kedalam lemari usang, dibawah tumpukan baju bersama amplop amplop lain kiriman marni. Diatas lemari usang berjejer 2 pigura yang membingkai foto kenangan masa laluku. Foto wanita berparas ayu menggandeng laki – laki menggunakan blangkon itu adalah kenangan pernikahanku. Ya aku masih ayu dan muda. Sedangkan pigura yang sedang kupegang ini membingkai kenanganku bersama Marni. Hanya satu foto marni yang kupunya, itu pun sudah mulai pudar. Apa aku benar benar tak bisa lagi melihat senyum indah Marni?
Yogyakarta, 2006
Akhirnya saat – saat yang ditunggu tiba, Marni hari ini akan resmi lulus dari bangku SMA. Aku dengan bangga maju dihadapan publik, karena Marni mendapat NUN tertinggi di sekolahnya. Tentu sangat membanggakan. Sekaligus sangat memalukan bagi sekolah yang dia tinggalkan, bagaimana bisa, lulusan terbaiknya tidak bisa meneruskan kuliah. Berbagai penawaran beasiswa telah ditujukan, tapi Marni tahu, jika kuliah hanya menjadi beban bagiku. Lebih baik dia dirumah membantuku berjualan, atau paling tidak mengusap keringat disaat aku sungguh tak kuat menahan beban hidup.
Satu bulan berlalu, kini aku sedang mendengar Marni bercerita tentang teman sebangkunya yang diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Yogyakarta, ya, aku tau Marni, kamu pengen seperti dia, tapi, ya Marni, ibuk yakin, kamu lebih tahu kondisi kita saat ini.
Aku benci melihat senyum Marni, kenapa dia tidak protes saja, “Ibuk, Aku kepingin kuliah!!!” teriak Marni, teriak sekencang kencangnya, tapi Marniku sayang tidak seperti itu. Dia selalu tersenyum, memendam kesedihan. Aku bahkan tak pernah berani bertanya “Kamu kepingin kuliah lagi nak?” karena itu hanya akan menyakitinya. Meskipun pasti dia akan menjawab “mboten buk, lebih baik disini, walau hanya duduk, melihat ibuk tertawa adalah surga dunia” . buat ku sudah cukup hanya menjadi lulusan Madrasah, hanya bisa baca tulis dan huruf hijaiyah, tapi tak cukup bagi Marni yang memiliki otak encer, hanya menjadi lulusan SMA. Dunia serasa tidak adil. Aku meratapi nasib.
Yogyakarta,2007
Marni Nampak bahagia menikmati keramaian kota Yogyakarta, ya meskipun dia hanya menemaniku menjajakan nasi gudeg, paling tidak dia masih bisa merasakan Tahun Baru di Kota budaya.
“ya sudahlah nak, kalau ini memang sudah menjadi keinginanmu, ibuk tak kuasa menolak.” Jawaban dusta dari ku. Aku tak tahu kenapa marni tiba tiba ingin pergi merantau ke Jakarta. “Aku hanya tak bisa terus – terusa urip koyok ngene buk” tutur marni sambil memohon kepadaku. Aku tak pernah memberinya apa apa, maka hanya ridlo melepas kepergianya lah yang menjadi pemberianku satu – satunya. Aku tak kuasa membendung air mata, aku peluk dia, seolah dia tidak akan pernah kembali.
Keesokan hari, aku antarkan dia ke Stasiun Tugu, aku bawakan segala macam keperluan dari hasil usaha daganganku. Aku tak tahu darimana ia mendapatkan info lowongan kerja, tapi Marni anak cerdas, tak mungkin dia bertindak bodoh untuk masa depanya. Aku peluk dia, aku usap usap rambutnya yang halus, tak kuasa aku menahan air mata. Tidak!! Aku harus kuat, aku balikan badan dan menyeka air mata. Aku pandangi dia untuk terakhir kalinya. Kuulurkan uang Rp.50.000, hampir tanganya yang kecil menolak, kupaksakan dia untuk menerima.
Kereta berjalan, berjalan menuju Jakarta, dan  meninggalkan Yogyakarta,,,
Yogyakarta, 2008
Apa kabar Nak? Apakah kau baik – baik saja? Bagus sekali, satu tahun tanpa kabar, tanpa berita. Kalau kau tidak bisa pulang, paling tidak kirimkan sepucuk surat, beritahu ibumu,kau sedang hidup bahagia.
Tak pernah terbesit dalam pikirinaku, kau,Marni, Anakku, aku akan mengutukmu menjadi batu seperti cerita Malin Kundang di tanah Sumatra. Aku akan bersabar nak, ya bersabar, dan terus menunggu.
Semakin hari, aku semakin resah, Marni, kau masih hidupkan? “iya buk, marni masih hidup” jawablah seperti itu nak, kirim suratmu, atau,,jangan – jangan kau malu punya ibu sepertiku? Ah tidak, bahkan kau pernah bilang sangat bangga padaku. Iya,, ibuk akan sabar menunggu.

Yoyakarta,2010
Ditengah malam, andong ini mengantarkanku pulang. Aku sendiri, sendiri masuk kedalam gubuk reotku. Ku bereskan daganganku, dan segera ku baringkan sekujur tubuh yang mulai menua. Marni, apakah hanya uang yang kau kirimkan pada ibumu? Tak rindukah kau denganku?
Pagi pagi buta, seperti biasa aku menyiapkan segala macam keperuan untuk berdagang. Matahari mulai berani unjuk gigi, wah berarti hari sudah mulai siang. Aku menghabiskan waktu berjam jam sendirian “tok,,,tok” suara orang mengetuk pintu. Segera kudekati, aku tak pernah melihat laki laki ini sebelumnya. “sinten nggeh?” tanyaku lirih, khas orang Yogya. “kulo jumain, pak pos, benar ini dengan alamat yang tertulis di amplop?” jawab laki laki yang usianya kira – kira masih 25 tahunan. “nggeh leres” jawabku. “ini ada kiriman dari Jakarta, sampun nggeh kulo pamit undur dulu” laki laki itu berpamitan. “ iya ya, makasih pak” balasku.
Aku tahu ini pasti dari Marni. Pertama tama aku tak ingin membuka amplop ini dulu. Aku hanya ingin bersyukur ternyata Marni tidak seperti Malin Kundang, aku ingin bersyukur dulu, bahwa Marni anakku masih hidup. Hidup?? Jangan – jangan amplop ini berisikan surat yang memberitahukan Marni,anakku,telah mati?? Tidak,tidak. Segera kubuang perasaan buruk ini, dan kubuka amplop coklat yang tidak terlau tebal ini.
Sepuluh lembar uang Rp.100.000 tersimpan rapi dalam amplop. Segera kuraup, aku masih mencari hal lain yang lebih penting dalam amplop. “Ibuk, Marni minta maaf karena tidak sempat memberi kabar. Marni bukan tak ingin pulang, tapi Marni tak kuasa melihat Ibuk yang selalu menyalahkan diri terhadap segala kemiskinan yang menimpa. Kemiskinan adalah warna tersendiri dalam hidup, seperti kata ibuk,bukan? Marni baik – baik saja, maka ibuk harus baik baik juga. Uang ini tidak cukup membayar segala kebaikan ibuk. Jakarta memang sulit ditaklukan, tapi mengingat senyum Ibuk, Marni berhasil membuat Jakarta bertekuk lutut dihadapan Marni. Marni cinta Ibuk” surat ini cukup melegakan, karena ini satu - satunya barang yang kucari dalam amplop. “Ibuk juga cinta Marni” seandainya aku bisa membalas surat ini.
Pelan – pelan aku bisa sedikit lega, ternyata Marni bisa Berjaya ibu kota. Kesedihan ini pelan – pelan menghilang. Rindu?? Pasti, tak ada Ibu yang tak rindu anaknya, meskipun terkadang anak suka lupa diri karena telah menyakiti hati. Batinku normal kembali.
Yogyakarta,2013
Hanya satu foto marni yang kupunya, itu pun sudah mulai pudar. Apa aku benar benar tak bisa lagi melihat senyum indah Marni? Aku pandangi marni terus dan terus.
“bahkan kemarahanmu adalah perasaan cinta yang meletup - letup. Ibu” salah satu bait surat yang terakhir dikirim Marni, selanjutnya marni hanya mengirim uang, tanpa ada tulisan – tulisan indah lagi. Barangkali sekarang dia terlalu sibuk sehingga tak sempat menulis surat.
Dua tahun ini aku selalu menunggu dan menunggu kabar dan kedatangan Marni. Kadang aku malu dengan tetangga yang menanyakan keberadaan Marni, karena tak tahu alamat pasti. Aku menikmati kesendirian ini. Tanpa suami dan tanpa Marni. Aku capek, dan aku ingin mengistirahatkan batin yang akhir akhir ini dihantui Marni.
*****
            Meskipun sudah tidak menjajakan gudeg lagi, Fajar shubuh selalu membangunkanku. Pagi ini aku ingin menyusuri indahnya kampung halaman. Aku ingin merasakan ramahnya udara pagi sembari menyambung silaturrahmi dengan tetangga yang sudah lama tak saling sapa. Aku sampai dipenghujung kampung. Sepertinya aku ada saudara disini, ku ingat ingat, oh iya Marsinah. Segera aku menuju rumahnya yang hanya 5 menit dari tempatku berdiri sekarang.
“Assalamualaikum, Mar” sapaku kepada wanita yang sepuluh tahun lebih muda. “waalaikum salam, loh yu, sama siapa kesini?” tutur marsinah sambil memelukku. “dewekan aku mar” ku jawab sambil tersenyum.  Entah kenapa Marsinah tidak menanyakan Marni, layaknya orang – orang lain. Mungkin dia takut membuatku tambah sedih. Ah yasudahlah. Berbagai hidangan ia suguhkan. Ah bertemu saja sudah membuatku senang. Ku kira Marsinah terlalu berlebihan. Tak terasa matahari sudah berada diatas kepala. Aku pamit undur diri. “Tinggal lah disini kalau lagi kesepian” kata Marsinah. Dia mengantarkanku sampai dipenghujung jalan. “Terimakasih Marsinah atas semuanya” pungkasku.
Dalam perjalanan pulang, sepertinya kampung ini lagi digemparkan dengan kabar kabur. Setiap orang yang lalu lalang berbisik bisik kemudian menunjukan wajah kaget dan mengelus dada. Aku penasaran, tapi, aku menegur diri “sudah tua, nggak usah ikut menggosip, nabung yang banyak buat akhirat” batinanku akhirnya mengurungkan niat untuk mencoba cari tahu. Semakin dekat dengan rumah, semakin banyak orang yang berkumpul dan membicarakan sesuatu itu. Aku sedikit bisa mendengar ada nama Maryam yang disebut sebut. tiba – tiba jantungku berdegup kencang. Apa sebenarnya yang mereka bicarakan? Aku tak peduli, dan akhirnya sampai juga digubuk indahku.
****
Sudah seminggu, orang orang kampung masih saja digemparkan dengan hal yang aku tak mau tahu. Tapi kali ini naluri kewanitaanku memuncak. Aku putuskan untuk mencari tahu, apa sih sebenarnya yang orang – orang ini bicarakan. Selama perjalanan, kembali aku mendengar nama Maryam. Aku semakin penasaran.
“hai nak!! Apa kau tahu apa yang mereka bicarakan” tegurku pada remaja berambut panjang ini, “mak ini kemana saja, itu lo anaknya bu Maryam yang katanya jadi pengusaha, eh ternyata dia adalah seorang wanita malam” jawab nya sedikit ketus. aku sedikit kaget dan mencoba menanyakan kembali “eh, jangan suka menggosip, berita itu juga belum tentu benar”. “ih dikasih tau nggak percaya, yowes” balasnya. Aku mengelus dada, ternyata remaja Yogya banyak berubah, unggah – ungguh mulai tak diterapkan dalam kehidupan sehari hari. Ah itu bukan masalah. Aku coba mencari tahu lebih lagi. Katanya berita ini bersumber dari orang kampung sebelah yang beberapa waktu lalu kembali dari Jakarta. Aku datangi rumah orang itu. Aku benar benar takut orang yang dimaksut adalah Marni, ah bukan, bukan, aku menguatkan hati.
Sampai aku dirumah orang yang dikatakan sebagai sumber kabar. Laki laki paroh baya menyambutku dengan wajah agak curiga. “ehhmm benar anda dengan Pak Suroto” Tanya ku. “iya kenapa mak?” Tanyanya dengan ramah. “saya mau Tanya, apa benar kalo berita yang lagi dibicarakan bersumber dari bapak? Dan bisa Pak Suroto jelaskan dengan detail? Tanyaku merendah. “ Benar. Saya ketemu wanita itu saat di Jakarta. Kala itu saya menemani juragan saya ke sebuah tempat pelacuran, kemudian saya tak sengaja berpapasan dengan wanita itu” Pak suroto berhenti bercerita. Kemudian menghela nafas dan melanjutkan “saya seperti tidak asing dengan wanita itu. kemudian dilain waktu saya bertemu dengan wanita itu dipusat perbelanjaan bersama laki laki yang usianya sudah tidak muda lagi. Kebetulan saya bersama dengan rekan kerja saya, yang rumahnya sekampung dengan njenengan. Terus kata dia, wanita itu anaknya bu Maryam. Ya tapi saya sekarang memutuskan kembai ke Yogya, nggak betah sama juragan saya, mak.hehhe” ujarnya panjang lebar. Oh jadi dia anak Maryam. Aku lemas. Pak Suroto mempersilahkan ku untuk makan suguhan yang ada didepanku.
*******
Badanku sedikit lemas dan lunglai. Aku hampir tak bisa melanjutkan perjalanan pulang. Harus bahagia atau sedih. Aku bingung.
“Yu Maryam, mau pulang dengan ku?” Anton, tetanggaku menawarkan diri. Orang – orang terbelalak melihatku, dan tak menyangka aku lah Maryam, Ibu dari wanita malam itu. seperti orang – orang itu, aku juga tak menyangka Marni tega melakukan pekerjaan hina, ku kira dia adalah seorang pengusaha. Padahal setiap malam aku selalu berdoa agar dia menjadi wanita yang sholehah, bukan menjadi wanita malam. “mari antarkan aku pulang, aku tak kuat menahan hinaan orang kampung” jawabku pada Anton.
*********
Kubasuh jasmaniku dengan berwudlu, dan segera aku memohon ampun untuk anakku. Ku ambil foto Marni yang tertata rapi diatas lemari. Aku tak kuasa membendung air mata. ”Meskipun kini orang – orang menghujatmu, aku tak mau menjadi tambahan beban untukmu dengan ikut membencimu. Seorang ibu, selalu menganggap anaknya paling benar walau dia bersalah. meskipun kini kau berubah menjadi bunga malam, ibu akan senantiasa menyirami mu dengan doa. Bilang pada ibu mu jika kau malu, biar ibuk sobek mulut orang yang menghinamu. Satu pesanku, kelak jika ajal telah menjemputku, jangan kirimi lagi ibu dengan uang mu. Siram liang lahat ibu dengan doa, seperti akau menyiramimu juga” gumamku dalam hati.
-          TAMAT -




[1] Nangka muda
[2] Masakan khas Yogyakarta
[3] Handphone

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Powered By Blogger

Pengikut

My Home

Jln. Bengawan Solo no.93 RT.02 RW.01 Kanor Bojonegoro

About Me

Min Rohmatillah, biasa dipanggil Iin, Lahir di Bojonegoro 14 Juni tahun 1993. TK ABA, MI ALFALAH, SMP N 1 SUMBERREJO, SMA N 1 BOJONEGORO, Dokter hewan yang menyukai design grafis. Punya Motto Good No God = 0, dan punya mimpi jadi dokter hewan ditengah hutan pulau Borneo (doain bisa ya..). u can follow my instagram @min_rahmatillah to watch my galery

Copyright © Min Rahmatillah -Black Rock Shooter- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan