Posted by : Sanguine bercerita tentang hidup
Rabu, 06 Juni 2012
LORONG
KEMISKINAN
“ Pak minta makan, Bu minta makan”
suara anak kecil itu membuat Karwo tercengang. Karwo hanya memandang anak itu
dari kejauhan, entah setan apa yang membuat Karwo menitihkan air mata. Tiba
tiba ia mengingat sesuatu yang ia tak mau mengingatnya, tapi memori itu seolah
tak mau menghilang dari ingatan Karwo, ia pun terbawa oleh lamunan yang membuat
sesak dadanya.
Segerombolan debu dengan ganasnya
menyapa karwo yang kesana kemari selalu membawa gitarnya untuk mencari sesuap
nasi. Senyum matahari yang lebar menambah siang itu semakin panas. Perut karwo
meronta ronta meminta sesuap nasi, dan tenggorokan Karwo tak henti hentinya
berteriak meminta setetes air, tapi apa daya Karwo yang seharian menjajakan
suaranya tak satupun orang yang terbuka hatinya untuk memberikan uang. Karwo
tetap semangat ngamen di jalanan demi menafkahi jasmaninya yang mulai kuyu.
Karena tak mendapatkan uang, Karwo
pun memutuskan untuk kembali ke Terminal. Saat menuju terminal, Karwo melintasi
warung warung yang menjajakan aneka makanan. Karwo yang tak kuat menahan rasa
lapar, ia berhenti tepat di pintu salah satu warung. Karwo sadar ia tak
memegang uang sepeserpun. Ia pun hanya bisa melihat orang makan dengan
lezatnya. Sempat terlintas dalam benak Karwo untuk mencopet dompet perempuan paruh baya yang melintas di
depanya dengan angkuh, tapi nurani karwo mengetuk ngetuk untuk tidak pernah
mencopet. Maklum karwo pernah merasakan nikmatnya hidup di balik jeruji.
Karena dianggap mengganggu Karwo pun
diusir oleh pegawai warung tersebut. Karwo pun segera pergi jauh dari warung
tersebut. Tanpa sengaja Karwo melihat seorang berdasi mebuang botol bekas air
mineral begitu saja di jalanan. Kalau dilihat dari tampangnya sih laki laki
tersebut adalah pejabat tingi di kota tersebut. Sontak Karwo langsung menggapai
botol tersebut. Senyum menganga dari mulut Karwo, ternyata masih ada sisa air
di dalam tersebut.
“gini
ya kalau jadi orang kaya, enak bisa membuang air sembarangan, lumayan” gumam
Karwo sambil meneguk sisa air tersebut. Karwo pun terus melanjutkan perjalanan.
Di terminal Nampak lenggang. Tak
satupun bis keluar masuk atau parkir di dalam terminal. Hanya ada beberapa
angkot yang membawa penumpang ke Kota. Itu pun tak seramai biasanya. Karena
merasa aneh, Karwo pun memberanikan diri untuk bertanya kepada salah satu orang
yang kebetulan sedang duduk di depan depot.
“ ngapunten yu, ini ada apa kok
terminal sepi kayak kuburan?” Karwo mulai membuka pembicaraan dengan sedikit
nyeletuk. “ oalah le, gak ngerti ya sopir bis dan angkotan pada mogok narik”
jawab yu marsinah, pemilik depot. “lo, la kenapa kok pakek mogok segala, emang
gak butuh duit apa” sela Karwo dengan nada agak jengkel. “ kamu itu gak pernah
baca Koran yo, BBM kan mau dinaikan bulan depan” jawab perempuan paruh baya dengan
nada agak tinggi. “ la terus aku ngamen dimana? terus aku dapet duit dari mana?
Terus aku makan apa?”tak sampai selesai Karwo ngerocos, tiba tiba yu Marsinah
menyela “ yo makan hati mu to le” sambil terbahak bahak.
Senja mulai membuka pintu pintu dewa
kegelapan untuk menyusupkan kejahatan di setiap telinga manusia, tak terkecuali
Karwo. Betapa kecewanya Karwo setelah seharian pontang panting, tapi hasilnya
nihil. Ingin rasanya Karwo marah kepada Tuhan, tapi Karwo sadar Tuhan tidak
akan bertanggung jawab atas kegagalan setiap Manusia yang ada di bumi, karena
pada dasarnya Tuhan telah memberikan semuanya. Karwo pun sadar, kemalangan
nasibnya adalah kesalahan Karwo sendiri, ia lebih memlih ngamen daripada
menjadi cleaning service di salah satu Rumah sakit Kota tersebut.
Malam semakin larut Karwo sudah tak
kuat menahan lapar. Karwo teringat dengan salah satu warung yang ia lewati
tadi. Ia segera kembali menuju warung tersebut. Di setiap jalan yang ia lewati,
karwo selalu menaruh harapan agar pemilik warung tersebut mau memberikan sesuap
nasi kepadanya, atau ada orang yang baik hati mau menraktirnya makan untuk
malam ini. Karwo melangkahkan kakinya dengan cepat, meskipun kaki karwo
berteriak teriak kalau kakinya sudah tak kuat lagi berjalan. Karwo tetap memaksakan
kakinya untuk berjalan cepat, karena ia sudah tak tahan menahan lapar.
“Warung tegal Bu
Su’ud”, begitulah nama warung tersebut. Karwo tersenyum lebar tatkala sampai di
warung tersebut.
“ wahai perut,
mari kita isi kau dengan nasi” ujar
Karwo sambil berjalan menuju pemilik warung tersebut.
“ maaf mas, mau
pesan apa?” Tanya perempuan cantik, anak pemilik warung. “ eee, anu mbak saya
mau minta nasi, boleh gak mbak??” Kawo mulai melancarkan jurus melasnya. “
minta,?? Memang ini panti asuhan, minta makan gratis, ga boleh harus bayar
pokoknya” jawab gadis tersebut dengan gaya anjing routhweler, yang galak. Karwo
kaget dan tak sengaja ia keceplosan “ Pelit banget sih mbak” , “heh kalau gak
punya uang jangan pernah maen maen kesini, orang miskin itu gak pantes datang
kesini, bikin jelek pemendangan” gadis itu semakin menjadi jadi. Dengan kecewa
Karwo pun meninggal kan warung tersebut.
Langit itu semakin petang saja,
Karwo sudah tak kuat lagi menahan rasa lapar. Ia meneguk sisa air mineral yang
ia temukan dijalanan. Karwo terduduk lemas di trotoar yang mulai sepi dari
hiruk pikuk masyarakat. Karwo tiba tiba teringat dengan perktaan anak pemilik
warteg Bu Su’ud. Emang bener sih orang miskin itu gak boleh minta makan
sembarangan dan gak boleh makan kalau gak bayar, la terus kalau gak punya uang
siapa yang mau ngasih makan??. Emang pemerintah mau ngasih makan. Karwo jadi
inget kalau orang miskin dan orang terlantar itu di tanggung pemerintah, tapi
sampai saat ini Karwo belum pernah mengecap manisnya buah tangan pemerintah.
Karwo pun merasa kalau pemerintah Indonesia sekarang sedang tidur dan gak
bangun bangun. Eh, tapi Karwo sebenarnya pernah merasakan bantuan dari
pemerintah. Pertama ketika Karwo hidup dibalik jeruji, tiap hari kan ia dikasih
makan, ya meskipun terkadang di perlakukan tak adil. Yang kedua adalah ketika
Karwo mengambil sisa air mineral yang di buang salah satu pejabat tinggi di
jalanan.
Karwo masih tertatih tatih, tak kuat
menahan perutnya yang keroncongan. Wajahnya yang hitam ditambah tebalnya debu
yang menempel di pipi, membuat wajahnya semakin melas. Ia masih ingat mulut
tajam anak pemilik warteg. Begitu menykitkan batin Karwo. Ia berjanji suatu
saat nanti ia akan buktikan bahwa menjadi orang miskin bukanlah hal yang
memalukan. Ia menyebut nama Tuhan dan segera memohon ampun. Ia takut jika Tuhan
tiba tiba memanggilnya, ya meskipun Ia selalu meninggalkan Tuhn yang selalu ia
agungkan, bukankah Tuhan maha pengampun??. Karwo pun terlelap.
“pak ini nasinya” kata pemilik
warung sambil menyodorkan nasi kepada Karwo. Suara ibu itu membangunkan Karwo
dari lamunannya. Ia seolah terbawa ke masa lalun yang begitu suram. Dulu ia
adalah seorang pengamen jalanan , dulu Karwo adalah gelandangan yang membuat
jelek pemandangan. Kini ia adalah pengusaha recording terkenal di Kota ini.
‘ o iya bu,,”
ujar karwo sambil tersenyum dan membayarkan makanan tersebut.
“ mas minta
makan, mbak minta makan, saya sudah seharian tak makan,,”
Ternyata suara
itu masih terdengar di telinga Karwo. Dengan segera ia melangkahkan kakinya
mendekati anak itu. Dan tanpa basa basi ia ulurkan sebungkus nasi kepada anak
itu dan memberikanya dua lembar uang bergambar I Gusti Ngurah Rai.
Karwo segera meninggalkan warung
tesebut menuju mobil mewahnya. Karwo tersenyum lebar seolah ia telah
memenangkan pertandingan. Karwo tersenyum lebar ternyata ia bisa membuktikan
bahwa menjadi orang miskin tak selalu memalukan. Seandainya anak pemilik warteg
Bu Su’ud mengetahuinya, senyum Karwo tentu akan mengembang semakin lebar.