Posted by : Sanguine bercerita tentang hidup
Senin, 08 April 2013
Gundah
akhir akhir ini kerap datang, barangkali gundah salah kamar, karena nama saya
bagio, kependekan dari bahagia bukan kalut,sedih,atau anung yang merupakan
kependekan dari termenung. Malam ini mungkin salah satu proses dari hidup saya
menuju tahap “hampir” gila. Tentu saya gak mau “benar – benar “ gila datang
menjemput saya. Ditemani secangkir kopi, tanpa sebatang rokok, tanpa korek, dan
tanpa asbak. Tau alasanya kenapa tidak ada aroma tembakau, ya karena saya calon
dokter. Itu kata Bunda saya.
2 tahun yang lalu saya diterima di
Jurusan Pendidikan Dokter, disalah satu Universitas terkenal di Kota Malang.
Jurusan yang “orang tua” saya banggakan. Sebenarnya saya sedikit terharu,
karena membuat saya agak terlihat pintar dibanding para lelaki yang lain.
Sedikit banci jika dibanding para kesatria teknik, dan jauh lebih pendiam
daripada lelaki penegak hukum.
“Bagio, gimana Ujian Praktikum Anatomi nya?”
kata salah satu temen cewek saya, “ hampir sempurna” balas ku, tapi itu setahun
yang lalu
“Bagio,
gimana ujian PMP nya? Gampang kan?” kata cewek yang setahun lalu bertanaya
kepada saya, “yah gampang banget, sampek saya lupa untuk mengerjakan” jawab
saya, dan ini yang sekarang terjadi kepada saya, Bahagia.
Saya tak pernah menyalahkan
siapapun, karena ini tanggung jawab saya, telah memilih masuk ke bidang yang
awalnya saya sangat suka. Sumpah kalau saya tau dari awal kalau ini sungguh
menjenuhkan, saya berjanji tak akan masuk ke jurusan paling mulia setelah guru.
Saya tau orang sungguh membutuhkan saya kelak, tapi saya amat tersiksa. Saya
tak punya waktu hanya sekedar menulis cerita di lembaran kertas, atau bahkan
menghabiskan setumpuk antologi karya orang yang sangat saya puja. Bahkan saya
membenarkan sosok Mingke dalam Anak semua Bangsa ( buku ke 3 tetralogi Bumi
Manusia ) yang rela dikeluarkan dari STOVIA demi istri dan pekerjaanya. Jika
pun saya berada disini tanpa bantuan orang tua saya, saya pasti sudah memilih
keluar dan mencari jati diri. Ketika Cinta itu sudah tidak ada, bagaimana bisa
mendalami dengan begitu nikmat seperti melahap suguhan.
Saya cinta Bunda, bahkan jikapun
saya dianggap lelaki paling cengeng, tak masalah, toh semesta masih berpihak
kepada saya. Setiap jemari ini menggoreskan sesuatu, rasanya nikmat senikmat
nikmatnya, nampaknya Tuhan lebih senang saya bercumbu dengan tinta dan kertas,
ketimbang buku buku bergambar rangka dan musculus. Ibarat enzim, saya telah
menemukan substrat yang tepat, sehingga menimbulkan sebuah reaksi. Ingin
rasanya saya mengatakan kepada bunda “ bagio ingin jadi penulis, bukan dokter “
tapi senyum bunda terlalu manis sehingga tak sanggup saya melupakanya.
Setiap malam, saya, bagio, mencoba
menguatkan batin, mencoba berkenalan dengan penyakit yang aneh aneh, berkenalan
dengan antibiotik dan beberapa jenis obat, mencoba mencintai ilmu jahit
menjahit. Setiap malam, dan setiap malam. Memupus harapan mengulang kesuksesan
sosok Pram, meretas harapan baru menjadi Soetomo di masa depan. Saya masih
ingat kutipan kata dari Khrisna Pabichara “hidup bukan rentetan kenikmatan
belaka, kadang kita butuh kegagalan untuk memahami betapa nikmatnya
keberhasilan”
Akhirnya
hari itu datang juga, ya 5.5 Tahun selesai. Dan kini bertambah gelar dokter
didepan nama saya. dr.Bahagia, begitulah saya dipanggil, rasanya taka da bangganya.
Tapi batin bak dibanjiri antigen yang menimbulkan sesak, kemudian tawa bunda
muncul sebagai antibody yang melisikan antigen tersebut.
“apakah
anda benar bunda saya?” Tanya saya, Bagio
“kenapa
kau bertanya seperti itu nak?” Tanya bunda keheranan
“kenapa
bunda tidak kenal saya?” aku membalikan pertanyaan
“
Bunda bukan tidak kenal, tapi karena bunda tau apa yang terbaik buat bagio”
balasnya
“
tapi bukan yang tepat untuk bagio, ijazah dokter ini buat bunda, bagio akan
kejar apa itu bahagia” kataku agak kasar
“
kejar apa itu bahagia itu nak, , kamu telah berkorban untuk kebahagiaan orang
disektarmu, bunda yakin suatu saat aka nada orang yang mau berkorban untuk
kebahagiaanmu. Dan satu hal sejahat apa pun bunda dimatamu, bunda adalah bunda,
bunda dari bahagia, bukan bunda dari kalut,gundah atau galau” tutur bunda
dengan tenang
“
saya percaya, bunda adalah bunda, bunda dari bahagia” balasku sambil tersenyum
Kupeluk
bunda, bunda yang sudah memberi pelajaran bagaimana saya harus tetap pada
pendirian, dan mengajarkan bagaimana saya harus berusaha mengejar cita cita
saya, yang seolah tidak mungkin. Lakukan apa yang membuatmu nyaman dan maksimal
bermanfaat untuk orang lain